Dalam dunia tasawuf, Jalaluddin Rumi banyak memberikan kisah-kisah yang menarik dan penuh makna. Rumi banyak mengajarkan kepada kita sebuah cerita yang berisi parodi atau sebuah sindiran yang sangat halus dan nasehat-nasehat yang patut untuk kita renungkan.
Dalam Matsawi dikisahkan, pada suatu waktu, seorang Turki mendengar cerita bahwa di kota tempat ia tinggal, hidup seorang penjahit satin yang juga memiliki kepandaian atau kelihaian dalam mencuri. Siapa saja yang menjahitkan pakaiannya di tempat itu, tanpa disadari, ia akan tercuri kainnya oleh sang penjahit.
Orang-orang berkata,“Penjahit itu pandai dalam mengecoh orang dengan kecepatan tangannya yang ringan dan keahliannya dalam mencuri.”
Orang Turki itu menjawab, “Aku orang Turki dan aku berani menjamin aku tidak akan mungkin dapat tertipu olehnya. Meskipun ia berusaha seratus kali menipuku, ia tidak mungkin akan berhasil mengambil sehelai benang pun dari kainku.”
Orang-orang berkata lagi, “Sebaiknya kamu jangan takabur dulu, Orang yang jauh lebih pandai darimu-pun sudah pernah ia tipu. Janganlah kamu terkecoh dengan kecerdasanmu karena nanti kau akan merugi.”
Namun orang Turki itu malah merasa makin tertantang. Ia segera mengajak mereka bertaruh. Ia yakin penjahit itu tidak akan mampu menipunya. Singkat cerita, orang Turki itu pun datang menemui penjahit terkenal itu sambil membawa kain satin yang indah. Begitu ia masuk, penjahit yang terkenal licik itu menyambutnya dengan hangat. Ia segera meloncat dari tempat duduknya, menyalaminya dengan penuh semangat, menanyakan kabar dirinya dengan keramah-tamahan yang belum pernah ditemukan oleh orang Turki itu sebelumnya di kota tersebut.
Diam-diam orang Turki itu mulai bersimpati kepadanya. Setelah ia mendengar sambutan yang amat ramah itu, yang terdengar ternyata jauh lebih indah dari nyanyian burung Kutilang yang selama ini setiap hari ia dengarkan. Singkatnya si Turki pun menyerahkan kain satin yang dibawanya kepada penjahit tersebut.
Penjahit itu berkata, “Wahai orang yang paling baik, aku akan berkhidmat kepadamu seratus kali.”
Ia lalu segera mengukur kain dan mengelus-elusnya sementara bibirnya tidak henti-hentinya berbicara. Ia bercerita tentang kisah-kisah yang teramat lucu. Orang Turki itu pun tertawa terbahak-bahak. Ketika ia tertawa, tanpa sadar matanya tertutup, dan saat itulah si penjahit dengan kecepatan tangannya menggunting kain satinnya secepat kilat. Karena senangnya mendengar cerita sang penjahit, orang Turki itu lupa bahwa yang ia hadapi adalah seorang penipu besar yang akan menipu dirinya habis-habisan.
Seraya tertawa lebar, orang Turki itu berkata, “Demi Tuhan, teruskan cerita-cerita lucu-mu itu karena itu sangat membahagiakan dan menyenangkan hatiku.” Penjahit itu lalu mengisahkan cerita baru yang lebih lucu lagi. Kembali ketika orang Turki kembali itu tertawa, si penjahit untuk kedua kalinya menggunting kain satin dan menyembunyikannya.
Setelah itu, masih saja orang Turki itu berkata, “Ceritakanlah lagi lelucon-lelucon-mu yang lain padaku.” Dan berceritalah sang penjahit dengan lelucon yang lebih lucu lagi. Kembali penjahit tersebut menggunting kain satin itu tanpa disadari oleh pemiliknya. Orang Turki itu kini telah benar-benar menjadi korban dari humornya.
Dengan tipuan lihai dari penjahit tersebut melalui lelucon-leluconnya, si Turki matanya tertutup, akalnya hilang, dan kesadarannya lenyap sama sekali. Ia benar-benar mabuk akan lelucon-lelucon sang penjahit tersebut. Dan lagi-lagi penjahit itu memotong kain satinnya setiap si Turki itu tertawa.
Akhirnya saat orang Turki meminta penjahit itu kembali meneruskan ceritanya, sang penjahit menolak, “Berangkatlah wahai orang yang tertipu. Celakalah bila aku bercerita lelucon lagi padamu, pakaianmu nanti akan menjadi terlalu sempit. Alangkah anehnya tertawamu. Sekiranya engkau mengetahui sedikit saja dari kebenaran, niscaya kamu akan menangis, bukannya tertawa....”
Kisah di atas, diceritakan oleh Jalaluddin Rumi dalam buku ke-enam Kitab Matsnawi yang merupakan ‘masterpiece’nya. Seperti Kisah Rumi yang lain, perlu waktu untuk mencerna makna dibalik ceritanya. Kisah tersebut memberikan pelajaran yang amat berharga kepada kita. Kita adalah ibarat “orang Turki” yang datang ke hadapan sang penjahit. Sedangkan Pejahit dan penipu ulung itu adalah “kehidupan dunia kita saat ini” yang membawakan kepada kita cerita-cerita yang lucu dan menyenangkan.
Tidak jarang kita memang mabuk dengan cerita-cerita dunia yang memang membuat kita terlena dan terpana. Tanpa kita sadari waktu pun menggunting ‘satin kehidupan’ kita sendiri. Satin adalah ibarat ‘lambang kehidupan’ dari kita, yang kita simpan dihadapan penjahit untuk dijadikan ‘jubah kesalehan’ kita.
Namun karena tipuan dunia, yang memberikan hiburan tanpa henti pada kita, ‘satin kehidupan’ itu tanpa kita sadari menjadi amat sempit. Dunia terus memotonginya dengan gunting waktu yang amat tajam. Seperti kata Rumi, “kita adalah orang-orang yang menjalani kehidupan ini, sementara hari demi hari menggunting sebagian besar dari satin kehidupan yang seharusnya kita persembahkan untuk dijadikan jubah kesalehan kita di hadapan Tuhan.
Kita sungguh terlena oleh kehidupan ‘fatamorgana’ dunia, padahal Rasulullah SAW jauh hari sudah mengingatkan bahwa kehidupan di dunia ini hanya tipuan, kehidupan sementara, akhiratlah kehidupan kita yang sebenarnya.
Dalam surat Al An’am, Al-Quran mengingatkan kita, “Tidaklah kehidupan dunia ini kecuali permainan dan canda tawa. Dan sesungguhnya kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al-An’am; 32)
Sebagaimana digambarkan oleh Rumi, kita sudah jadi para pencinta dunia atau yang biasa disebut dengan ‘kaum materialis’. Kita hanya sibuk tenggelam dalam hal-hal yang material semata. Kita bahkan sudah tidak pernah mau tahu dengan hal-hal yang bersifat ”behind the material”. Kita lebih sering lalai dan terlena dengan kehidupan dunia kita yang sementara dan melupakan kehidupan akherat kita.
Allah SWT mengingatkan kita dengan firmanNya“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS Ar Ruum ayat 7)
Sebagai orang beriman tentunya kita ingin berhasil juga di dunia. Tetapi doanya dan harapannya kepada Allah tidak pernah berhenti hanya pada hal-hal sebatas dunia. Kita hampir selalu mengharapkan akhirat bersamaan dengan harapannya akan dunia.
Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan kita agar jangan tertipu oleh dunia. Hendaknya selalu sadar bahwa hakikat senang dan susah adalah di akhirat bukan di dunia. Senang dan duka adalah permainan dunia. Senang di dunia tidak perlu membuat kita lupa. Susah di dunia tidak perlu membuat kita berputus asa.
Hendaknya semua itu tak membuat kita lupa akan tujuan lahir kita di dunia. Al-Quran mengatakan, “Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Al-Mulk; 1-2)
Sekali lagi, marilah kita berusaha menyelamatkan serpihan satin-satin kehidupan kita yang tersisa setelah digunting oleh kehidupan hari-hari kita yang terlena oleh ‘ fatamorgana’ dunia. Mari kita kumpulkan lagi serpihan kain satin tersebut untuk kita jahit kembali menjadi pakaian jubah kesalehan kita dihadapan Allah SWT.
Ditranskrip dari Kuliah-kuliah Tasawuf 'Jalaluddin Rumi" oleh KH Jalaluddin Rakhmat
Lebak Bulus, 9 Agustus 2009 , jam 22.00 WIB, Ama@Imam Puji Hartono