Jumat, 18 September 2009

Puasa Hati : Menakar Hasil Ramadhan

Secara bathin kita berusaha dan melatih diri mengendalikan fakultas bathiniyah seperti pikiran dan imajinasi kita. Puasa jenis inilah yang dapat melatih kita untuk menghindari segala sesuatu pikiran yang bersifat "duniawi" serta mampu memalingkan hati dan pikiran kita dari segala sesuatu selain Allah Swt.

SUATU hari Rasulullah Saw. mendengar seorang perempuan memaki-maki budaknya, padahal perempuan itu sedang berpuasa.
Nabi mengambil makanan dan berkata kepadanya: "Makanlah!" Perempuan itu
berkata, "Saya sedang berpuasa, ya Rasulullah." Rasulullah saw.
melanjutkan perkataannya, "Bagaimana mungkin engkau berpuasa,
sementara engkau memaki budakmu. Puasa bukan hanya menahan makan dan
minum saja. Allah Swt. telah menjadikan puasa sebagai penghalang
dari perbuatan dan perkataan tercela yang merusak puasa. Alangkah
sedikitnya orang berpuasa, dan alangkah banyaknya orang yang hanya
mendapat lapar."

Ucapan terakhir Rasulullah saw. sesungguhnya ingin menyadarkan
wanita tadi tentang hakikat puasa yang sebenarnya. Rasulullah saw.
juga menyimpulkan perbedaan antara puasa dan melaparkan diri.

Alquran menyebut kata "puasa" dan kata turunannya sebanyak 13 kali.
Sementara kata shaum hanya disebut satu kali. Artinya pun sangat
berbeda dengan kata shiyam, yang bermakna seperti lazimnya puasa
yang kita maksudkan.

Puasa (shiyam) diartikan sebagai upaya menahan makan, minum, dan
hubungan suami-istri (jima'), sejak terbit fajar hingga tenggelam
matahari. Inilah definisi yang kita terima dari ulama-ulama fikih.
Karenanya, puasa seperti ini kita kenal sebagai puasa syar'iat. Di
kalangan ulama-ulama ruhani, pengertian shiyam lebih bermakna
sebagai puasa syari'at, sedangkan kata shaum lebih mencerminkan
sebagai puasa tarekat.

Dengan menahan lapar dan dahaga sejak terbit fajar hingga tenggelam
matahari kita tampaknya berpegang teguh pada ketentuan puasa
(syari'at). Tetapi kalau kita tidak menahan diri dari memfitnah,
mengumpat, dan memaki, menurut kata Rasulullah saw., kita tidak
termasuk orang yang berpuasa, tetapi kita termasuk golongan al-jawwa
(orang-orang yang lapar saja). Menurut ukuran fikih, puasa yang
demikian ini sah, dan kewajiban puasa seseorangpun telah
tertunaikan. Namun, puasa jenis ini tidak memadai jika diukur dengan
parameter sunnah Rasulullah Saw. sebagaimana riwayat di atas. Oleh
karena itu, agar tujuan puasa dalam membentuk manusia yang bertakwa
tercapai, kaum arif ('urafa) membagi puasa dalam beberapa tingkatan.


Tingkatan Puasa

Kaum arif membagi puasa dalam tiga kategori: puasa perut, puasa
lisan dan puasa hati. Puasa perut adalah puasa kaum awwam dalam
terminologi Imam Al-Ghazali. Puasa jenis ini hanya sekadar menahan
diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri. Padahal dalam
khutbah menjelang Ramadan Nabi saw. dengan jelas
menerangkan, "Peliharalah lidahmu, tundukkan pandanganmu dari
sesuatu yang matamu tidak halal melihatnya, dan palingkan
pendengaranmu dari segala yang haram untuk didengar telingamu "
(Madinah al-Balaghah 1:358). Oleh karena itu puasa perut sama sekali
tidak bernilai dimata Allah Swt. dan tidak menghasilkan apa-apa,
selain lapar dan dahaga.

Tingkatan puasa yang lebih tinggi dari puasa perut adalah puasa
lisan. Imam Al-Ghazali menyebut puasa ini sebagai puasa lil khawwash
(khusush). Ali bin Abi Thalib kw. berkata , "Puasa lisan lebih baik
daripada puasa perut."

Dalam sebuah hadits disebutkan, "Jika engkau berpuasa, maka
kendalikanlah pendengaran dan penglihatanmu dari segala sesuatu yang
diharamkan. Tahanlah seluruh anggota tubuhmu dari segala keburukan.
Tinggalkan perilaku yang dapat melukai perasaan pelayanmu, dan bila
mampu diamlah dari segala pembicaraan, kecuali untuk mengingat Allah
(dzikrullah). Jangan jadikan hari-hari puasamu seperti hari-hari
berbukamu!" (Mizan al-Hikmah, 5:472)

Untuk menjalankan puasa ini selain niat dan tekad yang kuat,
diperlukan juga juga pertolongan Allah Swt. Seorang ahli ma'rifat
senantiasa memanjatkan doa agar Allah berkenan menyertainya dalam
menjalankan puasa yang satu ini, "Ya, Allah, ilhamkan kepada kami
untuk mengenal karunia Ramadan, mengagungkan kesuciannya dan menjaga
apa yang dilarangnya. Bantulah kami menjalankan puasanya, dengan
menahan anggota badan dari maksiat kepada-Mu dan menggunakannya
untuk keridhaan-Mu, agar telinga kami tidak terarah kepada kesia-
siaan, dan mata kami tidak tertuju kepada kealpaan, tangan kami
tidak terulur pada larangan, dan kaki kami tidak melangkah pada
keburukan, agar perut kami tidak terisi kecuali yang Kau halalkan,
dan lidah kami tidak berbicara kecuali yang Kau contohkan."

Tingkatan terakhir adalah puasa hati, Imam al-Ghazali menyebutnya
sebagai puasa khusush al-khusush. "Puasa hati dari segala pikiran
yang menyebabkan terjatuh pada dosa jauh lebih baik daripada puasa
lisan. Sedangkan puasa lisan lebih baik daripada puasa perut" (Mizan
al-Hikmah, 5:471). Inilah gabungan puasa jenis pertama dan puasa
jenis kedua ditambah dengan "puasa dari segala kecenderungan yang
rendah dan pikiran yang bersifat duniawi, serta memalingkan diri
dari segala sesuatu selain Allah" (Ihya Ulumiddin 1:277).

Dalam puasa ini, kita melangkah lebih jauh dari sekadar
mengendalikan indera lahiriah, seperti lidah untuk tidak berbicara
kecuali yang haq, tidak mendengarkan kecuali kebenaran, tidak
melihat kecuali kebaikan. Dengan puasa ini kita kendalikan
pembicaraan, pendengaran, dan penglihatan kita dari hal-hal yang
menjauhkan diri kita dari Allah. Jadi, secara bathin kita berusaha
dan melatih diri mengendalikan fakultas bathiniyah seperti pikiran
dan imajinasi kita. Puasa jenis terakhir inilah yang dapat melatih
kita untuk menghindari segala sesuatu pikiran yang
bersifat "duniawi" serta mampu memalingkan hati dan pikiran kita
dari segala sesuatu selain Allah Swt. Puasa jenis ini pulalah yang
dapat mengantarkan diri kita memiliki kematangan jiwa dan kedewasaan
spiritual.

Sebuah pertanyaan yang patut kita renungkan dapat kita tujukan
kepada diri kita, puasa tingkat manakah yang mempunyai kemungkinan
besar bisa menghantarkan diri mencapai tujuan seperti dinyatakan
Allah Swt. dalam Al-Quran, agar kamu menjadi orang yang bertakwa?
Bukankah ketakwaan menjadi parameter utama keberhasilan Ramadan
seorang Muslim?

Wallahua'lam. Ama Salman @ 2001